Minggu, 23 November 2014

Kajian Fiqh Siyasah

Metode Dan Pendekatan Dan Perkembangan
 Kajian Fiqh Siyasah
Makalah

Dibuat dan diajukan guna  memenuhi tugas
Mata kuliah: Fiqh Siyasah
Dosen pengampu: Miftahurrahman, SHI,MSI


Oleh:
Badrut Tamam

PROGRAM STUDI MUAMALAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI (STAIAN)
PURWOREJO
2014




Metode dan pendekatan kajian siyasah serta perkembangannya
A.  Pendahuluan
1.      Latar belakang
Fiqih Siyasah merupakan ilmu yang perlu untuk dikaji di antara ilmu pengetahuan yang lainnya,  kerena  tidak bisa dipungkiri bahwa kejayaan Islam itu sendiri sarat dengan adanya nuansa siyasah . adanya Fiqih Siyasah  dan berkembangnya  Islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah, pembentukan pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan Imama, taktik pertahanan Negara dari serangan musuh yang lainnya. Pembuatan kebijakan bagi kemaslahatan masyrakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu semua dipandang sebagai upaya-upayah siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran yang adil, memberi makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Semua proses tersebut merupakan langkah awal berkembangnya kajian fiqih siyasah, dimana fiqih siyasah menerima dengan tangan terbuka apa yang datang dari luar selama itu untuk kemaslahatan bagi kehidupan umat. Bahkan menjadikannya sebagai unsur yang akan bermamfaat dan akan menambah dinamika kehidupannya serta menghindarkan kehidupan dari kekakuan dan kebekuan.
Mengingat akan betapa pentingnya kajian siyasah untuk kehidupan bernegara dan kejayaan Islam maka disini pemakalah akan mencoba memaparkan makalah yang membahas tentang metode dan pendekatan kajian fiqh siyasah  serta bagaimanakah perkembangannya.
2.      Rumusan masalah
a.    Apasajakah metode-metode dan pendekatan yang digunakan dalam kajian siyasah
b.    Bagamanakah perkembangan fiqh siyasah sejak zaman klasik hingga zaman modern
B.  Pembahasan
Metode dan kajian serta perkembangan fiqh siyasah
1.      Metode dan pendekatan kajian siyasah
Penerapan fiqh siyasah tidak boleh bertentetangan dengan dalil yang bersiafat kully, memiliki nilai universal, sekalipun ia terkait dengan masa dan tempat tertentu. Oleh sabab itu dibutuhkan sebuah metode yang dapat menaggapi masalah-masalah yang bersifat kondisional dan situasional, sekaligus tidak menafikan daya ikat dalil-dalil yang bersifat kully.
Metode yang digunakan untuk mempelajari fiqh siyasah tidak jauh berbeda dengan metode yang dipakai dalam mempelajari fiqh yang lain. Dalam kaitan ini, digunakan ilmu ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqh. Fiqih siyasah dirasa lebih penting untuk dikaji karena tidak diatur secara terperinci dalam syari’at al-qur’an dan al-hadis.
Secara umum dalam fiqh siyasah digunakan metode-metode seperti: (1) ijma’;(2) qiyas;(3) al-maslahah al-mursalah (4)saad al-dzariah dan fath al-dzariah (5) al ‘adah (6) al-istihsan  dan kaidah kaidah fiqhiyyah.[1]
a.       Ijma’
Ijma’ tidak dapat dilakukan hanya diruang diskusi semata, karena ijma’ berkembang melihat realitas yang terjadi dimasyarakat dan melihat opini-opini public. Hal ini kemudian sangat memberikan pengaruh dalam memutuskan ijma’ itu sendiri.[2]
b.      Al-qiyas,
Qiyas dalam fiqih siyasah digunakan untuk mencari umum alma’na ;mencari illat hukum. Dengan menggunakan al-qiyas hukum dari sesuatu masalah dapat diterapkan dalam masalah yang lain pada masa dan tempat yang  berbeda. Jika masalah-masalah yang disebutkan terakhir mamiliki ‘illat hukum yang sama dengan masalah yang disebutkan pertama.
Berkenaan dengan al-qiyas berlaku kaidah:
الحكم يدور على علته وجودا وعدما
“hukum berputar bersama ‘illatnya, ada dan tidaknya hukum  tergantunga ada dan tidaknya ‘illat hukum tersebut”
Sebagai analogi yang bersifat analogi induktif, qiyas merupakan pengembangan yang berangkat dari sebuah peristiwa. Kemudian menyimpulkan bahwa, kebenaran pada satu kasus tertentu, bisa jadi benar dalam kasus yang lain. Sebagai contoh, penegakan demokrasi yang dilakukan oleh rasulullah ketika Rasulullah memilih komandan perang dan menunjuk langsung Hamzah sebagai panglima. Hal ini juga dapat dilakukan oleh pemimpin pada masa sekarang.[3]
c.       Al-maslahah al-mursalah, pada umum nya metode ini digunakan dalam mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh syari’at al-qur’an da al-sunnah, oleh karena itu penerapan almaslahah al-mursalah harus didasarkan pada  hasil penelitian yang cermat dan akurat yang dalam putaka fiqih sering disebut dengan istiqra’, tanpa penalitian seperti itu metode ini akan menimbulkan kemafsadatan,[4] sehubungan dengan itu para ulama semisal Abu Zahrah , beliau menetpkan tiga syarat yaitu:
1)      Keharusan adanya persesuaian antara “kemaslahatan” dengan maqoshid al-syari’ah. Artinya, pemahaman dan pelaksanaan “kemaslahatan” (yang ditetapkan sesuatu masyarakat, dan terutama penguasanya) tidak boleh bertentangan dengan pokok-pokok ajaran islam dan apalagi bertolak belakang dengan dalil yang qath’i, kemaslahatan tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki oleh syara’.
2)      Kemaslahatan tersebut harus bersifat ma’qul.artnya, masyarakat terutama para pemegang otoritas di bidang keilmuan akan menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal (rasional).
3)      Pelaksanaan maslahat tersebut tidak boleh menimbulkan kesulitan, tetapi mendatangkan kemudahan.[5]
Persyarat lain yang diajukan oleh Abd Wahab al-Khalaf, yang meliputi:
1)        Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan yang yang meyakinkan (hakiki) bukan kemaslahatan yang meragukan. Oeh karena itu harus berdasrkan kepada hasil penelitian yang mendalam.
2)        Kemaslahatan tersebut harus bersifat umum bukan bersifat khusus. Artinya, lebih banya mamaslahatkan masyarakat secara keseluruhan dari pada sekelompok orang atau seseorang tertentu.
3)        Kemaslahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan dengan syari’at baik yang ditetapkan nash maupun ijma’. [6]
 Persyaratan yang dikeluarkan oleh kedua ulama tersebut memilik persamaan dan perbedaan tertentu.[7] Syarat pertma dan kedua dari Abu zahrah sama dengan syarat pertama dan ketiga dari Abd.al-wahab al-khalaf, sedangkan syarat ketiga dari Abu Zahrah berbeda dengan syarat kedua dari Abd,al-wahab al-khalaf.
Jika persyaratan yang dikemukakan oleh kedua ulama tersebut diatas digabungkan, maka persyaratan al-mashalah al-mursalah meliputi:
1)        Keharusan menetap “kemaslahatan” yang sesuai dengan maqashid al-syariah, semangat ajaran, dalil kully, dan dalil qath’i (wurud dan dalalahnya)
2)        Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang meyakinkan. Artinya, “kemaslahatan” tersebut didasarkan kepada penelitian ilmiah yang cermat dan akurat, sehingga tidak meragukan bahwa ia benar-benar mendatangkan kemanfaatan, dan menghindarkan kemudharatan.
3)      Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang dapat memberi manfaat kepada sebagian besar, bukan sebagian kecil, masyarakat.
4)      Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan, dalaam art dapat dilaksanakan.
Dalam hidup keseharian, contoh pengadilan dan prekayasaan masyarakat yang didasarkan pada metode sadd al-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah sangat banyak. Pelaksanaan peraturan perundangan tentang lalu lintas, pengawasan terhadap obat dan makanan, pembagian eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan hal-hal lain.[8]
d.      Sadd aldzari’ah dan fath al dzari’ah
 Dalam fiqh siyasah sadd aldzariah digunakan sebagai upaya pengadilan masyarakat untuk menghihndari kemafsadatan. Sebaliknya, fath al-dzari’ah digunakan sebagai upaya perekayasaan masyarakat unruk mencapai kemaslahatan. Sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah merupakan “alat” bukan “tujuan”. Contoh sadd al-dzari’ah didalam fiqh siyasah, antara lain: pemberlakuan jam malam oleh ulul al-amr p-ada masa-masa genting, larangan membawa senajata ketika terjadi kekacauan. Pembauatan peraturan tentang sistem pendidikan dalam rangka membentuk manusia-manusia yang bertaqwa kepada Allah swt. Merupakan salah satu contoh fath al-dzari’ah. Pengadilan dan perekayasaan berdasar sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah dapat diubah atau dikuatkan sesuai dengan kondisi dan situasi yang berlaku.
Sehubungan dengan sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah ini, berlaku kaidah fiqh:
للوسائل حكم المقاصد   
Artinaya, jika tujuam suatu pengadilan dan perekayasaan sosial itu hukumnya wajib, maka cara untuk mencapai hal tersebut juga wajib. Demikian pula sebaliknya. Apabila tujuan yang akan dicapai itu hukumnya haram, maka cara yang menuju kepada pencapaian yang tersebutpu haram.
Dengan sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah aksekutif , legislatif dan yudikatif , sera membuat pengadilan dan atau perekayasaan soaial lain yang dapat mengundang kemaslahatan,sekaligus dapat menolak kemafsadatan.
e.       Al ‘adah.
Metode ketiga yang banyak digunakan dalam fiqh siyasah adalah al-‘adah. ‘adah ini ada dua macam, yaitu: al-‘adah ash-shahihah dan al-‘adah al-fasidah. Al-‘adah ash-shahihah yaitu ‘adah yang tidak menyalahi syari’at, sedangkan al-‘adah al-fasidah yaitu ‘adah yang bertentangan dengan syari’at.
Al-‘adah dan al-maslahah al-mursalah berhubungan erat bahkan al’adah ash-shahihah pada umumnya berfungsi untuk memelihara dan menjaga kelangsungan kemaslahatan.
Perbadaan pokok antara al-’adah dan al-mashlahah al-mursalah, antara lain, bahwa didalam peringatan al-‘adah terdapat unsur waktu. ‘adah itu dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan  masyarakat. Sebaliknya dalam al-maslahah al-mursalah, unsur waktu seperti itu tidak merupakan persyaratan mutlak. Kemaslahatan dapat merupakan sesuatu yang telah, sedang dan akan timbul. [9]
Penedekatan al-‘adah dalam mempelajari fikih siyasah sangat diperlukan, karena perkembangan politik berakar dari kehidupan masyarakat adat. Hal ini akan mempermudah dalam mengambil keputusan politik. Seperti pemilihan kepala suku, kepala desa, dan para pemimpin lainnya.[10]

f.       Al-istihsan
Ihtisan adalah cara untuk memilih dalil yang lebih kuat yang bertujuan memelihara kemeslahatan serta menghilangkan kemudharatan yang sesuai denga syariat. Cara yang dilakukan adalah dengan mendahulukan dalil yang bersifat umum daripada dalil yang bersifat khusus, dan mendahulukan dalil yang bersifat ‘am daripada dalil yang kully.[11]
Sementara menurut  ‘Ibn ‘Araby   bahwa istihsan adalah   melaksanakan dalil yang kuat diantara dua dalil.
Mungkin timbul pertanyaan, “mengapa seorang mujrtahid mengubah dalil yang dipakainya?” jawabannya, perubahan tersebut diperlukan oleh seorang mujtahid, agar hukum yang ditetapkannya sesuai dengan semangat ajaran islam atau ruh al-hukm. Berpedoman ruh al-hukm, ditentukan dalil mana yang lebih tepat untuk bisa meraih sebanyak mungkin semangat ajaran islam adalah seni tersendiri.
Sedangkan Muhammad Ma’ruf ad-dawaliby menjelaskan perbedaaan antara qiyas dan istihsan disatu pihak dengan dengan al-maslahah ar-l-mursalah dipihak yang lain.[12] Menurutnya:
Di dalam al-qiyas dan al-istihsan ada perbandinagan. Misalnya, di dalam al-qiyas , ada perbandingan antara ‘cabang’ (al furu’) dengan ‘pokok’ (al ashl) di dalam al-istihsan, terdapat perbandingan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain. Sebaliknya. Di dalam al mashlahah al-mursalah, perbandingan seperti itu tidak ada, karena hanya melihat kepada kemaslahatan ummat.
g.      Kaidah-kaidah kullyah fiqhiyah
kaidah-kaidah fiqhiyah kulliyah sebagai teori ulama banyak digunakan untuk melihat ketepatan pelaksanaan fiqh siyasah. Kaidah-kaidah itu bersifat umum. Oleh karena itu, dalam penggunaannya, perlu memerhatikan kekecualian-kekecualian dan syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh, kaidah al’adah muhakamah tidak selalu dapat diterapkan pada pelbagai macam kebiasaan. Ia hanya berlaku dalam adat yang dikatagorikan sebagai al’adah al shohihah. Dalam pada itu, al’adah al shohihah tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yang banyak di ulas dalam kitab-kitab ushul al-fiqh.
Kaidah- kaidah yang sering digunakan dalam fiqh siyasah, antara lain:
الحكم يدور على علته وجودا وعدما
“Hukum itu berputar bersama ‘illat hukum. Ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidak adanya ‘illat hukum”
تغيير الاحكام بتغييرالازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات
 “hukum itu  berjalan sejalan dengan perubahan zaman,tempat, keadaan, kebiasaan, dan niat”.
دفع المفاسد مقدّم علي جلب المصالح
                      “menolak mafsadat, dan meraih kemaslahatan”
Dengan demikian, fiqh siyasah harus diorientasikan pada penolakan kemafsadatan sebanyak mungkin, dan pada saat yang sama pencapaian kemaslahatan sebanyak mungkin.[13]
اذا تعارض المفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
“Apabila dihadapkan kepada dua kemafsadatan yang saling bertentangan, maka yang perlu diperhatikan adalah menolak salah satu kemafsadatan yang kadar madharatnya lebih besar, dan pada saat yang sama menerima salah satu kemafsadatanyang kadar kemadharatanya lebih kecil”. 
Tidak jarang ulul amri dihadapkan kepada beberapa hal yang madharat bagi umatnya. Dalam keadaan demikian ulul amri harus mampu memilih sesuatu yang memiliki tingkat kemadharatan paling kecil, dan pilihan itulah yang harus dilaksanakannya. Hal itu berdasarkan pada kaidah yang berbunyi:
الاخذ باخف الضررين
“mengambil yang madharatnya lebih sedikit”
Dalam keadaan yang sulit menentukan keputusan mana yang didahulukanantara manfaat dan madharatnya,dengan kadar yang sama,digunakan kaidah[14]
دفع المفاسد مقدّم علي جلب المصالح
“menolak kemafsadatan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”
 apabiila ada kemaslahatan namun, sasaran utama tidak merata maka dipakai kaidah:
المصلحة العامة مقدم على مصلحة الخاصة
Kemaslahatan umum didahulukan dri pada kemaslahatan khusus”
Mendapatkan sesuatu yang baik, namun tidak memenuhi syarat yang ada, sering terjadi. Misalnya, dalam pemilihan seorang peimimpin untuk  mengusi jabatan tertentu, sulit menemukan figur yang sempurna. Akan tetapi jika tidak ada pemimpin sama sekali, dapat menimbulkan kekacauan, digunakan kaidah:
مالا يدرك كله مالا يترك كله
“Jika tidak dapat melaksanakan seluruhnya secara sempurna, maka tidak harus ditinggalkan seluruhnya”
Barangkali kaidah ini mirip dengan ungkapankalau tidak ada rotan, akarpun jadi”. Meskipun demikian, tidak harus menghentikan usaha dalam mencapai tujuanyang diharapkan, upaya penolakan atas kemaadharata atau kemafsadatan di dalam kehidupan bersama tidak boleh dilakaukan dengan cara yang memadharatkan dan memafsadatkan. Imperatif seterti itu terkandung dalam kaidah:
الضرر لا يزال بالضرر مثله
“kemadharatan yang satu tidak dapat dihilangkan dengan kemadharatan yang lain yang sama kualitasnya”.
Apabila telah timbul keyakinan mengenai kebaikan sesuatu keputusan yang akan diambil, dalam arti keputusan tersebut baermanfaat bagi umat, maka keputusan ini harus dilaksanakan, kecuali ada alasan-alasan lain yang lebih meyakinkan bahwa keputusan di atas tidak bermanfaat bagi umat.
kaidah-kaidah kulliyah tersebut merupakan kaidah-kadah yang sering digunakan dalam kajian fiqh suyasah tentu saja masih banyak kaidah yang lain  yang dikaji secara jhas di dalam kitab kaidah al-fiqhiyah.[15]
2.      Perkembangan kajian dalam fiqh siyasah
Di dalam makalah kami tentang perkembangan kajian fiqh siyasah dibagi menjadi tiga periode yangmana pembagian ini berdasarkan bukunya muhammad Iqbal yang berjudul fiqh siyasah, yaitu,: periode klasik, periode pertengahan dan periode modern
a.     Periode Klasik
Ciri yang menandai perkembangan kajian fiqh siyasah pada periode klasik adalah kemapanan yang terjadi di dunia Islam. Secara politik, Islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas inetrnasional. Pada periode ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani Umaiyah (661-750 M) dan Bani Abbas (750-1258 M).[16]
Pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, kajian fiqh siyasah masih belum muncul. Bani  Umaiyah lebih mengarahkan kebijaksanaan politiknya pada pengembangan wilayah kekuasaan. Memang ada kelompok oposisi, seperti Khawarij dan Syi’ah pada masa ini, tetapi tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Pemikiran-pemikiran dan gerakan mereka pun cenderung radikal dan ekstrem dalam menentang kekuasaan Bani Umaiyah. Pada masa daulat Bani Abbas barulah kajian fiqh siyasah ini mulai dikembangkan. Namun demikian, kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para ulama ketika itu cenderung mendukung kekuasaan. Inilah yang terjadi di kalangan ulama Sunni pada umumnya.
b.    Periode Pertengahan
Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di tangan tentara Mongol. Pada masa ini kekuatan politik islam mengalami  kemunduran. Karena itu, kecenderungan pemikiran Islam mengalami kemunduran. Tokoh yang mengalami langsung tragedi penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah Ibn Taimiyah (1263-1328 M). Ibn Taimiyah mempunyai pemikiran siyasah yang sedikit berbeda dengan pemikir Sunni abad klasik. Berbeda dengan Sunni pemikir sebelumnya, Ibn Taimiyah tidak memandang institusi imamah sebagai kewajiban Syar’I, tetapi hanya kebutuhan praktis saja. Ibn Taimiyah pun tidak mengungkapkan secara tegas syarat Quraisy sebagai kepala negara. Ia hanya menegaskan dua syarat untuk menjadi kepala negara, yaitu kejujuran (al-amanah) dan kewajiban atau kekuatan (al-quwwah). Kedua hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan kedua syarat ini akan tercipta keadilan dalam masyarakat yang merupakan cita-cita dan tujuan utama syari’at islam.
Pemikir Sunni lainnya yang juga membahas siyasah adalah Ibn Khaldun (1332-1406 M). Pandangan politiknya antara lain tertuang dalam karyanayy Muqaddimah. Di antara tesisnya yang berbeda dengan pemikir Sunni lainnya adalah interprestasinya yang kontekstual terhadap hadis Nabi yang mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Ia menganggap hadis ini bersifat kondisional. Karenanya, suku mana saja memegang posisi puncak pemerintahan islam, selama ia mempunyai kemampuan dan kecakapan. Jadi syarat suku Quraisy bagi Ibn Khaldun bukanlah “harga mati”.[17]
Pemikir islam lainnya yaitu Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M). syah Waliyullah membenarkan pembakangan rakyat terhadap kepala negara yang tiran dan zalim.
c.     Periode Modern
Periode modern ditandai dengan oleh semakin lemahnya dunia Islam di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Hampir seluruh negeri muslim berada di bawah imperialisme dan kolonialisme Barat. Dalam lapangan politik, sikap pertama melahirkan aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik dan kenegaraan. Sikap kedua melahirkan aliran yang berpandangan bahwa Islam hanya memberikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Sedangkan sikap ketiga melahirkan aliran sekularisme yang memisahkan kehidupan politik dari agama. Pemikiran inilah yang selanjutnya berkembang hingga masa kontemporer.
Menurut pemikir tokoh-tokoh aliran pertama mereka memandang Islam sebagai suprmarket yang menyediakan segala kebutuhan hidup manusia dan manusia tinggal hanya melaksanakan saja ketentuan-ketentuan tersebut. secara umum pemikir-pemikir kelompok pertama ini juga masih mendambakan adanya negara universal yang menyatukan seluruh dunia Islam. Selain itu mereka memandang Barat sebagai musuh Islam. Oleh sebab itu, segala yang datang dari barat ahrus ditolak, karena tidak sesuai dengan kepribadian Islam. Pemikir kelompok kedua yaitu Ali ‘Abd al-raziq memandang bahwa Islam tidak mempunyai tata aturan tentang politik. Nabi Muhammad SAW diutus tidak lain hanyalah untuk menjadi rasul dan tidak berpretensi utnuk membentuk negara dan kekuatan politik. Menurut Thaha Husein, supaya Mesir dan umat Islam umunya dapat meraih kemajuan, makam jalan satu-satunya adalah dengan meniru dan mengadopsi peradaban barat. Sedangkan menurut pemikir ketiga yaitu Abduh berpendapat bahwa kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh manusia. Abduh menambakan, Islam juga mengatur hukum-hukum tentang masalah-masalah hubungan antar manusia. Agar hukum tersebut berjalan secara efektif, maka diperlukan pemimpin atau kepala negara yang akan melaksanakan dan megawasi pelaksanaannya. Namun deikian, kepala negara tersebut bukanlah wakil Tuhan, melainkan hanya pemimpin politik. Karenanya, ia tidak memiliki kekuasaan keagamaan seperti dalam agama Kristen.[18]
C.     Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan maklah di atas dapat kami simpulkan bahwa metode-metode dan pendekatan yang digunakan didalam fiqh siyasah itu ada tujuh yaitu: ijma’, qiyas, al-maslahah al-mursalah ,saad al-dzariah dan fath al-dzariah, al ‘adah, al-istihsan  dan kaidah kaidah fiqhiyyah.
Sementara perkembangannya itu dibagi menjadi tiga, yang pertama yaitu periode klasik yang dikhaskan dengan kemapanan yang terjadi di dunia Islam dan yang memegang kekuasaan dan pengaruhnya yaitu Bani Umaiyah (661-750 M) dan Bani Abbas (750-1258 M).
Adapun pada periode pertengahan ditandai dengan hancurnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di tangan tentara Mongol. Pada masa ini kekuatan politik islam mengalami  kemunduran
Dan pada periode modern kerajaan islam semakin melemah karena dijajah oleh bangsa barat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Muhammad al-Qodi. 1989. Assiyasah Asyariyah Masdar Li Taqnin Baina Nadhiriah Wattatbiq. (Tanta: Daar al_kutub al-Jamiiyahal-Hadis)
Al-Khalaf,Abd al wahab.1977 ,Al-Siyasah Wa Al –Syari;Ah (Kairo:Darl Anshar,)

Beni Ahmadi Saebani. 2007. Fiqih Siyasah.( Bandung: CV Pustaka Setia)
Djazuli,Ahmad.2003.Fiqh Siyasah,(Bandung:Pernada Media)

Iqbal, Muhammad.2001 Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama,)
Zahrah,Muhammad abu Al-Alaqah Al-Dawlah Fi Al –Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1973)





                [1] A.Djazuli,Fiqh Siyasah,(Bandung:Pernada Media,2003) hlm.32
                [2] Ahmadi Saebani beni, Fiqih Siyasah ( Bandung: CV Pustaka Setia,2007 ) hlm. 67
                [3] Abdullah Muhammad al-Qodi, Assiyasah Asyariyah Masdar Li Taqnin Baina Nadhiriah Wattatbiq. (Tonto: Daar al-kutub al-Jamiiyah al-Hadis,1989) hlm. 7
            [4] A.Djazuli,Fiqh Siyasah,(Bandung:Pernada Media,2003) hlm.32
                [5] Muhammad abu zahrah,Al-Alaqah Al-Dawlah Fi Al –Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1973)
[6]Abd al wahab Al-Khalaf,Al-Siyasah Wa Al –Syari;Ah (Kairo:Darl Anshar,1977) hlm.15
[7] A.Djazuli,fiqh siyasah,(Bandung:Pernada Media,2003). hlm.52
[8] Ibid, hlm.53

[9] Ibid,  hlm. 55
                [10] Beni Ahmadi Saebani, Fiqih Siyasah ( Bandung: CV Pustaka Setia,2007 ) hlm. 280.
                [11] Abdullah Muhammad al-Qodi, Assiyasah Asyariyah Masdar Li Taqnin Baina Nadhiriah Wattatbiq. (Tonto: Daar al-kutub al-Jamiiyah al-Hadis,1989) hlm. 226
                [12] ‘Ibn taymiyah,Al-Siyasah Al-Syar’iyah Fi Ashlah Al-Ra’y Wa Ra’iy (Dar al-Kitab al-‘Arabi,Mesir,1956) hal. 296 
                [13] A.Djazuli,fiqh siyasah,(Bandung:Pernada Media,2003) hlm.57

                [14]Ibid, hal.58
                [15] Ibid,hal. 61
                [16]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama,2001)

                [17] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama,2001)
                [18] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama,2001)

2 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site in Indonesia
    Lucky luckyclub.live Club casino site is the best solution for the players, who have the chance to enjoy it with the pleasure of gambling and enjoy the fun and excitement of casino games.

    BalasHapus
  2. Casino City in Las Vegas, Nevada, USA - MapYRO
    Casino City. 3131 South Las Vegas 사천 출장마사지 Blvd. South Las Vegas, NV 89109. 광주광역 출장마사지 Directions · 동두천 출장마사지 (702) 770-7040. Call Now 경기도 출장샵 · More Info. 평택 출장안마 Hours, Accepts Credit Cards,

    BalasHapus